28/02/08

Emosi Revolusi Dalam Kekuatan Cinta

Dalam darah juang ini, tak pisahnya dari dua hal yang telah memborong perhatian, hadir dan semakin tak dapat sa bendung, banyak menyita perhatian, mengisi ruang-ruang massa puber yang semakin senja, antara romantisme dan revolusi. Dua hal yang meruba wujud pembentukan rohani dan mentalitas. Membuat sa jatuh dan bangkit demi makna terselubung dalam hidup ini.

Perjuangan belum berakhir, dan tak rubahnya, deras penjajahan tak henti. Ia mengalir membentur bilik hati yang merana pengharapan. Menusuk dan semakin menjadi-jadi, hingga tujuh jurus mengelola emosi, karya Dudung yang pernah sa baca, tak mempan lagi. Sebuah kondisi sub-human, tutur Dom Helder Camara, dari praktek penjajahan, menjadi nyata pada saya dan semua kolega saya yang berada di hutan belantara, di jalan-jalan demonstrasi anak bangsa, dan di jeruji besi kolonial Indonesia.

Pada bagian ini, perlawanan emosi mengganti Ak-47 dan M-16, senjata mental yang jelas-jelas tak berpeluruh, yang ku pikul dengan capeh setiap saat berjalan melalui rimba kehidupan yang penuh tantangan di alam hasrat. Saat-saat dimana sa membutuhkan pengharapan. Ini memang jalan revolusi tak berwujud, saat dimana aku butuh saat-saat teduh yang panjang bersama dalam ruang lain dari satu atap konsentrasi ini.

Di ruang-ruang yang lain itu, mirip cinta agape turut memaknai darah juang. Selayaknya manusia, secara kodrati, ia kekasihku, bukan sekedar kebutuhan rohani, tapi tak ubahnya sebuah pengasah pedang tempur. Aku pedang tempur yang diasah di medan revolusi. Dia yang tak dapat ku rangkai dalam bait-bait puisi malam.

Bisik-bisik kecil kita semalam, terlarut dalam emosi, hingga kekasih, kau tinggal tugasmu, hampir bangun kesiangan, di ruang klas itu, kelopak mata berkedip dan tak membuka lama. Emosi ternyata membuat kita terlena. Bukan karena benci, tapi semua karena cinta agape.

Hadirnya di sore kemarin, membuka pendengaranku melebar, mata hati menjadi sensitif, pembulu darah menjadi besar. Saat itu, seperti puisi Pablo Marinda, sa ucap kata dalam menaklukan emosi kami semalam, sebuah pembahasan kecil yang memaksaku memaknai arti penting dari sebuah komunikasi.

Bayang-bayang emosi penjajah masih mengikuti, disaat bicara kita kemarin tentang penghianat bangsa kita, Papua Barat yang menggerogoti kemaluan mama kita, tanah air Papua Barat. “Mereka anak negeri yang rela membuka kain sutra mama”, sebuah kutipan puisi kepedihan anak Fak-fak (Yohanes Adopak) yang pernah tersalin di blog bebo. Anda tau?, dia, kekasihku, berusaha menyirami lahar emosi ini dengan ucapaan yang sebenarnya bermakna, hal mana kurasakan sehabis bicara hingga semalam.

Perdebatan kami kemarin selaras tujuan dengan rasa yang berbeda. Hingga pretensi kita berbeda haluan. Disaat emosi diperlukan dalam perjuangan pembebasan Papua Barat dan bahaya emosi bagi gerakan pembebasan.

Darah mendidih dan seakan emosi menjadi jembatan melakukan revolusi. Itu jalan satu-satunya yang coba sa tawarkan dalam diskusi bersama dia kekasihku di negeri Kangkuru, sebuah negeri yang tak bedanya dengan praktek penjajahan yang terjadi disana. Cukup menarik juga, ia bertutur dalam keemasan suara merdu, dan sa yang dikuasai ambiguitas, tetap bertahan dalam argumen saya.

Dari semua kata berarti yang ia ucap, satu hal ia ucap, ucapan yang tak bisa saya debat lagi. Hilang kata-kata, dan memang saya tidak punya dasar untuk mencoba menggugurkan kalimat yang terucap dari bibir kekasihku.

“Baby,” panggilnya mesrah, “kalau berjuang angkat senjata karena emosi, ko siap secara jasmani, tapi rohani siap ka tidak?”, sebuah pertanyaan yang membuat bulu badan berdiri seketika, dan membuat sapu tidur semalam tidak teratur.

Dia, curahkan hatinya, harapnya, seakan-akan membuat aku berpaling dari dunia emosional (tentu emosional yang negative) kepada perjuangan yang sadar. Wawasannya yang luas, menggugah dan alkitabiah, menjadi kekhasan tersendiri baginya. Bait-bait pikiran yang keluar darinya dan sa yang mendengar setengah setuju saat itu sesungguhnya memberi arti betapa pentingnya melakukan perjuangan tanpa mengandalkan emosi yang berlebihan terhadap penjajah.

Sampai bila penjajahan terus berlangsung, dan ketika emosi menjadi alternatif pelengkap perlawanan revolusi, maka tidak ada jalan lain, selain perlawanan total massa rakyat Papua Barat. Itulah ungkapan emosi saya. Tapi benarkah? Butuh proses pencerahan hati yang panjang, baby...!***

Share

0 komentar: