Oleh: Victor F. Yeimo*
PADA 17 Februari 2008 lalu, Kosovo secara resmi menjadi sebuah negara terpisah dari negara bagian Serbia. Negara itu merdeka setelah berjuang dari kediktatoran Serbia yang mengakibatkan pelanggaran HAM di provinsi itu (sebelumnya) . Perjuangan Kosovo, bagi Politisi Indonesia dan komunitas internasional yang tidak tahu sejarah kebenaran Papua Barat adalah a persisnya, yaitu sebuah gerakan pemisahan diri (separatis) yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB tentang integritas wilayah dan kedaulatan negara.
Papua Barat sejajar dengan Kosovo sebelumnya, sebagai bagian dari wilayah yang ingin memisahkan diri. Papua Barat maupun Kosovo punya kesamaan latar belakang dalam pandangan dunia internasional terutama blok barat, yaitu Serbia dan Indonesia masing-masing punya rapor buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Pada kasus Kosovo, itu alasan utama dukungan perjuangan dan kemerdekaan oleh AS, NATO, Uni Eropa, juga PBB dengan meloloskan resolusi DK PBB 1244 dan penyetujuan proposal Ahitesari. Bagi AS, Uni Eropa, dan sebagian besar anggota PBB, dukungan perjuangan hingga kemerdekaan Kosovo, paling tidak memiliki kepentingan strategis dalam geopolitik sebagai bagian dari bentuk konfrontasi terhadap Rusia dan Serbia. Bila kita membaca arah politik AS di Kosovo, maka kita akan mengerti bahwa, persoalannya karena Serbia keluar dari Uni Eropa dan bersama Rusia melakukan perlawanan terhadap AS di Balkan.
Indonesia dilema dalam memberikan pengakuan terhadap Kosovo (baca: Tempo Interaktif). Bukan saja karena terdapat perbedaan suara dalam partai-partai di Indonesia antara mengakui kemerdekaan Kosovo dan tidak, tapi juga karena Indonesia mempertimbangkan untung ruginya. Pertama, Indonesia mempertimbangkan hubungan baik dengan Rusia, Serbia, China dalam hal ekonomi, politik maupun strategi; kedua, mendukung kemerdekaan Kosovo bisa saja membuka peluang bagi gerakan "separatis" di Papua Barat; ketiga, mendukung kemerdekaan Kosovo berarti Dubes Serbia di Indonesia di tarik dari Jakarta, sesuai pernyataan Presiden Serbia, Boris Tadic.
Dilain hal, Papua Barat, secara geopolitik dipandang sebagai wilayah yang didominasi kepentingan kapitalisme global (neo-liberalisme) , khususnya AS, Ingris dan China. Posisi Indonesia soal Kosovo menentukan keselamatan aset AS (PT.FI) dan Inggris (LNG) di Papua Barat. Karena bagaimanapun, bila Indonesia mendukung Rusia/Serbia dalam melakukan konfrontasi terhadap AS, itu berarti Indonesia akan ditentang sebagai negara yang mencederai konstitusi negara yang menjamin hak kemerdekaan dan penghapusan penjajahan. Lagi pula, sikap itu akan mempengarui AS yang akhir-akhir ini, melalui dua Kongresman AS (Eny Faleomavaeha dan Donal Pyne) melakukan desakan kepada Sekjen PBB mereview PEPERA tahun 1969 serta pentingnya PBB memediasi dialog antara Papua Barat dan Indonesia.
Kepentinga AS dan negara-negara sekutunya tentu selalu berada dibalik isu HAM dan Demokrasi, juga dalam paham liberalismenya. Kosovo, walaupun merdeka, tetapi tetap saja menjadi bagian dari pada korban konfrontasi AS vs Rusia. Papua Barat antara Indonesai-Rusia dalam kesepakatan peluncuran satelit milik Rusia di Biak disatu sisi, dan disisi lain, Indonesia-AS bersama sekutunya dalam kepentingan ekonomi-politik di Papua Barat adalah alasan yang bukan tidak mungkin akan peluang terjadinya adu dua kekuatan (Rusia-AS) di Papua Barat setelah Kosovo. Pilihannya tergantung, apakah geliat dua kekuatan super power itu menempatkan posisinya mendukung kemerdekaan Papua Barat atau memperkuat barisan bersama Indonesia untuk terus menjajah dan menjarah tanah dan manusia Papua Barat.
Kasus Kosovo: Ujian bagi Gerakan Nasional Papua Barat
Dahulu, Soekarno dengan paham NASAKOM ingin menggabungkan Irian Barat (sekarang Papua Barat) dalam wilayah kesatuan Indonesia, hanya karena Belanda jelas-jelas sekutu imperialisme AS, dan sikap Seokarno yang anti-imperialisme dengan tujuan memperoleh kekuatan bersenjata lebih dari Rusia (USSR). Namun, sejarah pencaplokan Papua Barat yang melibatkan AS dalam kepentingan ekonomi politik secara tegas membuat jarak negara-negara Blok Timur dan Blok Barat. Dalam perang dua kekuatan ini, rakyat Papua Barat seakan-akan di-bonekakan dan tidak mendapatkan tempat. Sebagai bentuk konfrontasi terhadap USSR, Indonesia, Belanda, AS dan PBB secara sepihak melakukan kesepakatan-kesepakatan tanpa melibatkan rakyat Papua Barat.
Proses yang mirip terjadi dalam kasus Kosovo. Kepentingan parsial AS, UE, Rusia mendominasi kepentingan penentuan sendiri warga mayoritas Albania di Kosovo. Dominasi AS, UE dalam kemerdekaan unilateral (sepihak) tentu karena kepentingan proksi di Balkan.
Dalam melakuan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat (GNPB), bangsa Papua Barat tidak terlepas dari intervensi internasional. Potensi dukungan terhadap perjuangan Papua Barat sama halnya dengan Kosovo, yaitu rakyat Papua punya Ras yang berbeda dengan Indonesia, sama halnya Albania di Kosovo lain dengan Serbia. Papua Barat mayoritas Kristen, dan minoritas dalam NKRI sama dengan Kosovo Mayaritas Muslim dan minoritas dalam Serbia. Potensi yang lain adalah, genodisa di Kosovo sama halnya dengan Papua Barat. Tidak mungkin tidak, wilayah emas yang menyimpan sekelumit persoalan menjadi perhatian internasional. Pertanyaann yang harus di jawab oleh GNPB, yaitu akankah negara Papua Barat yang terbentuk itu mandiri secara politik, ekonomi, sosial dan budaya? atau terlepas dari intervensi internasional yang melatar belakangi kepentingan nasional mereka?
Ketegasan harus diambil sejak dini dalam menempatkan garis politik secara mandiri. Proses rekonsiliasi dan revitalisasi musti dilakukan terus menerus oleh GNPB. Proses pendewasaan dalam perjuangan yang ideologis adalah maha penting dalam menjembatani strategi taktik perlawanan. Bukan karena bangsa Papua Barat dalam berjuang tidak harus membutuhkan intervensi internasional, namun kemandirian untuk tidak dikendalikan dan dijebak dalam bak kepentingan konfrontasi internasional.***
---------------
* Chairperson Eknas Front PEPERA PB Konsulat Indonesia
Indonesia dilema dalam memberikan pengakuan terhadap Kosovo (baca: Tempo Interaktif). Bukan saja karena terdapat perbedaan suara dalam partai-partai di Indonesia antara mengakui kemerdekaan Kosovo dan tidak, tapi juga karena Indonesia mempertimbangkan untung ruginya. Pertama, Indonesia mempertimbangkan hubungan baik dengan Rusia, Serbia, China dalam hal ekonomi, politik maupun strategi; kedua, mendukung kemerdekaan Kosovo bisa saja membuka peluang bagi gerakan "separatis" di Papua Barat; ketiga, mendukung kemerdekaan Kosovo berarti Dubes Serbia di Indonesia di tarik dari Jakarta, sesuai pernyataan Presiden Serbia, Boris Tadic.
Dilain hal, Papua Barat, secara geopolitik dipandang sebagai wilayah yang didominasi kepentingan kapitalisme global (neo-liberalisme) , khususnya AS, Ingris dan China. Posisi Indonesia soal Kosovo menentukan keselamatan aset AS (PT.FI) dan Inggris (LNG) di Papua Barat. Karena bagaimanapun, bila Indonesia mendukung Rusia/Serbia dalam melakukan konfrontasi terhadap AS, itu berarti Indonesia akan ditentang sebagai negara yang mencederai konstitusi negara yang menjamin hak kemerdekaan dan penghapusan penjajahan. Lagi pula, sikap itu akan mempengarui AS yang akhir-akhir ini, melalui dua Kongresman AS (Eny Faleomavaeha dan Donal Pyne) melakukan desakan kepada Sekjen PBB mereview PEPERA tahun 1969 serta pentingnya PBB memediasi dialog antara Papua Barat dan Indonesia.
Kepentinga AS dan negara-negara sekutunya tentu selalu berada dibalik isu HAM dan Demokrasi, juga dalam paham liberalismenya. Kosovo, walaupun merdeka, tetapi tetap saja menjadi bagian dari pada korban konfrontasi AS vs Rusia. Papua Barat antara Indonesai-Rusia dalam kesepakatan peluncuran satelit milik Rusia di Biak disatu sisi, dan disisi lain, Indonesia-AS bersama sekutunya dalam kepentingan ekonomi-politik di Papua Barat adalah alasan yang bukan tidak mungkin akan peluang terjadinya adu dua kekuatan (Rusia-AS) di Papua Barat setelah Kosovo. Pilihannya tergantung, apakah geliat dua kekuatan super power itu menempatkan posisinya mendukung kemerdekaan Papua Barat atau memperkuat barisan bersama Indonesia untuk terus menjajah dan menjarah tanah dan manusia Papua Barat.
Kasus Kosovo: Ujian bagi Gerakan Nasional Papua Barat
Dahulu, Soekarno dengan paham NASAKOM ingin menggabungkan Irian Barat (sekarang Papua Barat) dalam wilayah kesatuan Indonesia, hanya karena Belanda jelas-jelas sekutu imperialisme AS, dan sikap Seokarno yang anti-imperialisme dengan tujuan memperoleh kekuatan bersenjata lebih dari Rusia (USSR). Namun, sejarah pencaplokan Papua Barat yang melibatkan AS dalam kepentingan ekonomi politik secara tegas membuat jarak negara-negara Blok Timur dan Blok Barat. Dalam perang dua kekuatan ini, rakyat Papua Barat seakan-akan di-bonekakan dan tidak mendapatkan tempat. Sebagai bentuk konfrontasi terhadap USSR, Indonesia, Belanda, AS dan PBB secara sepihak melakukan kesepakatan-kesepakatan tanpa melibatkan rakyat Papua Barat.
Proses yang mirip terjadi dalam kasus Kosovo. Kepentingan parsial AS, UE, Rusia mendominasi kepentingan penentuan sendiri warga mayoritas Albania di Kosovo. Dominasi AS, UE dalam kemerdekaan unilateral (sepihak) tentu karena kepentingan proksi di Balkan.
Dalam melakuan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat (GNPB), bangsa Papua Barat tidak terlepas dari intervensi internasional. Potensi dukungan terhadap perjuangan Papua Barat sama halnya dengan Kosovo, yaitu rakyat Papua punya Ras yang berbeda dengan Indonesia, sama halnya Albania di Kosovo lain dengan Serbia. Papua Barat mayoritas Kristen, dan minoritas dalam NKRI sama dengan Kosovo Mayaritas Muslim dan minoritas dalam Serbia. Potensi yang lain adalah, genodisa di Kosovo sama halnya dengan Papua Barat. Tidak mungkin tidak, wilayah emas yang menyimpan sekelumit persoalan menjadi perhatian internasional. Pertanyaann yang harus di jawab oleh GNPB, yaitu akankah negara Papua Barat yang terbentuk itu mandiri secara politik, ekonomi, sosial dan budaya? atau terlepas dari intervensi internasional yang melatar belakangi kepentingan nasional mereka?
Ketegasan harus diambil sejak dini dalam menempatkan garis politik secara mandiri. Proses rekonsiliasi dan revitalisasi musti dilakukan terus menerus oleh GNPB. Proses pendewasaan dalam perjuangan yang ideologis adalah maha penting dalam menjembatani strategi taktik perlawanan. Bukan karena bangsa Papua Barat dalam berjuang tidak harus membutuhkan intervensi internasional, namun kemandirian untuk tidak dikendalikan dan dijebak dalam bak kepentingan konfrontasi internasional.***
---------------
* Chairperson Eknas Front PEPERA PB Konsulat Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar