"Sekedar kerangka berfikir bersama dalam menyikapi aksi-aksi perjuangan"
Oleh: Victor F. Yeimo
Pengalam Lalu: Siapa yang salah
Sejarah seharusnya menjadi guru yang baik dalam melakukan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat. Pertama, Secara de facto 1 Desember 1961, rakyat Papua Barat berikrar mendirikan negara Papua Barat, nyatanya Jakarta dengan misi trikora mengklaim itu negara boneka, hasilnya pendudukan NKRI di bumi kasuari ini; kedua, PEPERA 69 paling tidak DMP difungsikan dan bisa jadi kemenangan rakyat Papua, ternyata 1025 jiwa berhasil diringkut untuk memenangkan PEPERA; ketiga, sebagai reaksinya, OPM bermula di Manokwari melakukan perlawanan, hasilnya rakyat Papua Barat korban militer sebelum dan sejak DOM di Papua Barat.
keempat, aksi perlawanan sporadis di masing-masing basis OPM, hasilnya diklam GPK dan untuk bisnis dan perluasan koter (komando teritorial) militer; kelima, proklamasi Thom Wanggai dengan Bintang 14, hasilnya membunuh sejarah kebenaran dan ketidak-penyatuan dalam gerakan perjuangan dan ini membingkan solidaritas di satu sisi, dan kemenangan RI; keenam, 1998 hingga 2000 bintang kejora berkibar dan lahirkan PDP, hasilnya Otsus dengan korban nyawa rakyat Papua (sekarang sebagian orang PDP mengemis uang di Otsus); ketujuh, akhir 2005 Front PEPERA-PB dibentuk untuk fight Neoliberalisme (Freeport), dan Neo-kolonialisme (otsus), hasilnya: presure terhadap Fi menguntungkan NGO ulah aktivis reaksioner yang tidak tau proses gerakan; kedelapan, gerakan-gerakan kota yang tanpa sadar banyak meloloskan kepentingan segelincir elit lokal.
Pertanyaan yang harus dijawab, kesalahan ada dimana? RI dengan segala kekuataanya? Rakyat Papua Barat? ataukah, 'pejuang kemerdekaan' Papua Barat?
Bukankah sejarah membuktikan, pejuang dalam organisasi perjuangan Papua Barat paling banyak melakukan kesalahan yang menghasilkan keuntungan dipihak musuh? mari kita koreksi diri sebelum melakukan perlawanan.
1. Berjuang Karena Emosi Penjajah
Kalau OPM angkat senjata mulai tahun 1965 kita harus jujur karena adanya infasi militer RI. OPM, walaupun bagian dari mempertahankan kekuasaan, tapi lebih banyak karena menghadapi perlakukan senjata aparat NKRI. Hasilnya, perjuangan tidak melalui kesadaran gerakan perjuangan yang masif melalui pembacaan universal. Akibatnya, kita dibuat korban ideologi negara-negara adikuasan seperti AS/Belanda dan Rusia.
Hampir semua perjuangan dengan basis di hutan, tidak mampu melakukan perjuangan secara sistematis dan terorganisir, karena semua basis bertujuan untuk melawan militer RI yang menjadi musuh babuyutan mereka.
Bukan saja dalam organisasi OPM yang ibarat organisasi militer, tapi juga perlawanan-perlawan an yang muncul hingga kongres II di Port Numbay, rakyat melakukan aktivitas perjuangan lebih dikarenakan preteksi mereka melihat praktek-praktek penjajahan. Mereka buta tentang ideologi (harapan) kemerdekaan Papua Barat.
Bukankan gerakan-gerakan demonstrasi di jalan, dengan massa yang dihipnotis dengan berbagai macam cerita praktek-praktek penjajahan itu sedang terjadi? bukankah banyak pemimpin-pemimpin yang bergeming dalam organisasi-organisa si gerakan itu adalah mereka yang memiliki/mengalami perlakukan kejih oleh militer RI?
2. Membangun Gerakan Yang Tidak Mengakomodir Ideologi
OPM hingga PDP terbentuk tidak ada satu kerangka acuan tentang pembebasan sejati. Jangankah rakyat, orang-orang yang berjuang dalam tubuh-tubuh organisasi tidak mengerti pembangunan gerakan pembebasan.
Akhirnya, banyak agenda dibuat, tapi rakyat tidak terpimpin secara politik. Rakyat belum diajarkan untuk mengerti arti penting kemerdekaan Papua Barat. Merdeka secara apa? bukan sekedar mengajar rakyat untuk demo dengan berpatokan pada ritme perjuangan politik beberapa anak negeri di luar negeri.
3. Membangun Organisasi yang Tidak Ada Standar Nasionalisme dan Demokratis.
Di tahun 1961, kita boleh memilih DMP dan memang sedikit representatif, karena ada mekanisme yang jelas, walaupun belum mengakomodir keseluruhan suku-suku di Papua. Tapi yang terjadi sekarang lain, buat organisasi yang tidak mencerminkan nasionalisme Papua.
Kita buka saja, di lingkaran Adat disana ada DAP yang tidak mengakomodir suku-suku, DeMMak dengan pusat aktivitas politik di England dengan basis Koteka (jelas tidak ada nilai nasionalisme) . Di lingkaran Mahasiswa, AMPTPI dengan basis anak Mahasiswa koteka, bikin gerakan perjuangan Papua Merdeka.
Otorita Nasional yang tidak tahu lahir dimana dan dalam mekanisme yang bagaimana, yang jelas ia tidak lahir dalam sebuah mekanisme formal untuk mengukur apakah organ politik ini demokratis atau tidak? boro-boro sampai membuat pemerintahan.
Walaupun PDP ada mekanisme formal, tapi komposisi PDP tidak menjadi kekuatan bersama, karena memang organisasi ini tidak mencerminkan kekuatan dari setiap suku-suku di Papua Barat.
5. Imbasnya, Keuntungan Bagi NKRI
Dalam kondisi kekuatan internal organisasi perjuangan yang demikian, tunggu saja waktunya, akan ada kemenangan di pihak musuh. Pasalnya, Indonesia selalu mencari kecelakan politik untuk memasang kuda-kuda politik.
Kemungkinan- kemungkinan patut dicermati: pertama, Bahaya dialog nasional. Bila aksi terus menerus tanpa memperhitungkan kekuatan internal dan untung ruginya, maka kondisi ini bisa saja dimanfaatkan oleh elit-elit lokal lewat lembaga-lembaga formal RI untuk melahirkan resolusi pemadam api revolusi rakyat Papua Barat melalui dialog nasional. Dialog nasional sudah sedang disiapkan oleh DPD RI misalnya, atau MRP melalui KKR.
Mengapa ini berpotensi terjadi? karena Otorita maupun organ lain yang sedang mendorong presure-presure tidak mewakili (representatif) seluruh komponen yang seharusnya duduk dialog. Dan bila demikian resolusi dialog, sekalipun menguntungkan rakyat Papua Barat, namun disisi lain tidak legitimasi, karena memang organ itu belum dilegitimasi rakyat Papua Barat dalam mekanisem formal.
Disisi lain, kita tidak akan punya pukulan kuat dalam kompanye internasional, dalam hal meyakinkan komunitas internasional yang sudah terfaksionalisai oleh faksi-faksi gerakan perjuangan Papua Barat.
Kedua, Jika mau dialog internasional, negara yang memediasi (PBB sekalipun) pasti mempertimbangkan kekuatan organisasi perjuangan kita. Nyatanya, Eny Faleomavaega dalam surat-suratnya kepada PBB, selalu mengikutkan pemerintah daerah dan pemimpin masyarakat, sebagai perwakilan rakyat Papua Barat dalam dialog Internasional yang harus terjadi. Ia tidak menyebut PDP, DAP, OPM, Otorita yang duduk dalam dialog.
Artinya, kita harus punya alat politik yang mencerminkan standar demokratis dan nasionalisme. Bukan saja sekedar alat, tetapi alat yang mampu menunjukan basis rakyat Papua tentang arti penting kemerdekaan Papua Barat.
ketiga, akibatnya, rakyat untuk kesekian kalinya, tinggal dalam mimpi-mimpi belak ulah ketidak pastian yang diberikan oleh organ-organ perjuangan. Kebanyakan rakyat setelah gejolak pengibaran bendera 1999-2000, tidak lagi merasa ada kepastian kemerdekaan. Dan kali ini, kita boleh bawah sebagian massa rakyat dalam aksi-aksi minta referendum dan sejenisnya, tapi sebenarnya -menurut saya penulis- itu hanya aksi-aksi penghibur massa rakyat Papua Barat. Jangan-jangan ini kesempatan keuntungan bagi NKRI
LANTAS, APA KEBUTUHAN KITA HARI INI? : Adalah renungan bagi semua GNPB (Gerakan Nasional Papua Barat)
"Persatuan tanpa batas, Perjuangan Sampai menang"
0 komentar:
Posting Komentar