12/04/20

Melawan Nasi-onalisme Indonesia

Faktor produksi, atau "bagaimana cari makan", itu jugalah yang telah menentukan keseluruhan gerak evolusi dari spesies kera hominid menjadi manusia moderen (homo sapiens) di planet bumi ini.
Jadi soal "makan nasi" itu jugalah yang membuat kita kase tinggal tanah air dan kerja dalam kolonial Indonesia. Disitulah evolusi nasionalisme terjadi, lalu kita terjajah, ingin merdeka, tapi masih mau tunduk terjajah.

Terjajah karena kita kita bukan penentu faktor produksi beras. Kita bahkan bukan distributor tapi konsumen aktif saja. Bahkan harus jual pangan lokal untuk beli beras karena trada alat produksi pangan lokal.
Jadi politik nasi-onalisasi Papua dalam NKRI itu telah berhasil membentuk kesadaran palsu. Kesadaran objektif itu mulai terlihat saat serangan Virus Corona yang memutus relasi produksi kolonial-kapitalis, sebabkan krisis pangan.
Membuat kita bangsa Papua merekontruksi kebangsaan kita. Memusatkan pangkal kesadaran, mengolah (memproduksi) pangan lokal, melawan politik nasi-onalisasi kolonial, yang telah menjadi sumber krisis kedaulatan pangan Papua.
Kita baru bisa menyebut bangsa Papua kalau memiliki mode produksi sendiri yang mengidentifikasi kebangsaan kita. Atau, apa gunanya bilang hitam kulit keriting rambut aku Papua, tetapi sikap dan tindakannya Indonesia.
Sebab bangsa bukan komunitas terbayang (imagine community), tetapi komunitas pengalaman (experienced community). Relasi ekonomi politik antar penjajah dan terjajah itulah kontruksi kebangsaan dalam NKRI.
Karena walaupun ada pertentangan antar bangsa penjajah dan terjajah, itu tidak bertahan lama karena salah satu faktor pembentuk ketahanan nasional Papua (kedaulatan pangan) belum menjadi bagian dalam perjuangan pembebasan nasional.
Artinya, kalau "perut tengah" tercukupi, atau resource (sumber daya) perjuangan mencukupi untuk bisa menyokong dan mendobrak kesadaran orang Papua, maka landasan berbangsa kita memberi nyawa pada kerja perjuangan pembebasan nasional.
Dengan demikian perlawanan kita tidak melulu berlandas pada romantika sejarah (memoria passionis) dan sentimen rasial, walaupun kenyataanya penindasan dengan prasangka rasial menyebabkan genosida, etnosida bahkan ekosida terus terjadi.
Tetapi lebih dari itu pembebasan nasional, dimana hak demokratik (kemerdekaan politik) dapat menjamin kontruksi bangsa yang berdaulat, sehingga ia tidak menjadi proyek borjuis kapitalis yang kontra revolusioner seperti Indonesia.
Makanan nasional Papua adalah hasil dari produksi nasional Papua. Orang Papua adalah subsistem dari keseluruhan ekosistem alam Papua, itulah yang membuat leluhur kita hidup dan menghidupi alam dalam kecukupan.
Artinya mengelola (produksi) pangan, berkebun, beternak, nelayan, tidak menghancurkan ekosistem alam sebagaimana exploitasi kapitalis yang menyebabkan kerusakan lingkungan alam Papua. Karena kebangsaan kita pun harus bermakna ekologis.
Mengelola sumber karbohidrat Pangan dengan kembali menghidupkan proto-makanan lokal adalah langkah pertama, sambil mempersiapkan (mengalih) ke tehnologi pangan yang ditanam, diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi oleh bangsa Papua.
Kita bisa produksi singkong, sagu, sorgum, dll sebagai tepung. Kita bisa produksi ubi jalar, keladi, pisang, dll sebagai biskuit atau keripik. Tapi kita juga tetap bisa makan tanpa lewat proses industri. Kita bisa kelola pangan lokal sebagai komoditas unggulan.
Melawan nasi-onalisme Indonesia di Papua yang menyerang dan menghancurkan kedaulatan pangan itu lebih kejam, karena ia memutus mata rantai hidup dan kesadaran manusia di bawa kekuasaan kolonial dan kapitalis yang hari ini menjadi biang penindasan bangsa-bangsa di dunia.
Mari berkebun!
Victor Yeimo
buronan lapar...

Share

0 komentar: