15/08/20

Mereka Memanggilku "Monyet Buronan"

Helo blog, sudah lama tidak menghias beranda putihmu dengan baik-bait derita jalanan. Banyak sekali mesti dituliskan untuk mengungkap segala rasa. Tumpukan soal dikepala membara di hati yang tidak dapat ku tulis satu persatu dengan lancar disini. Seperinya, jari jemari tidak sepandai dahulu untuk menuliskan segalanya. Jemari membeku dan hati terkadang membara. Tetapi dirudung bingung dari mana dan bagaimana mengungkapkannya. Sementara sang waktu berlalu, dan kita pun terpisah dalam pelarian sepih. 

Blog, angin malam kian menusuk batin membela sepih sunyi ini. Sendiriku terbiasa tetapi saat angin datang dan pergi, manalah mungkin ku tahu arah tujuannya. Bersama angan, ku buang pandang jauh samudera pasifik, walau angin pasifik tak henti memukul bibir Ela Beach, Koki Market, Port Moresby. Angan dalam gumam ku tanya, adakah waktu membawa kembali untuk tanah air kekasihku yang terus menjerit dalam ratapan, diiringi lirik dan nada sendu tiada habis-habisnya. Lalu haruskah nyair sepih Robert Oeka, Walter Lili, Saugas, Dezine memaksaku bertahan merobek sunyi malamku?

Telah ku arungi laut muara Tami, melintasi batas, mencari hembusan nafas untuk ku hirupi sejenak semenjak hari-hari buronku di Port Numbay. Setahun berlalu, tepat hari ini ku kenangkan kisah penindasan yang telah merobek nuraniku. Kisah tentang penistaan terhadap manusia dan kemanusiaan Papua. Saat spesies manusia disebut sebagai monyet, bukan sekali tetapi berulang kali. Setiap mata, telinga bangsa ini terpanah dan merobek nuraninya. Oh, haruskah ku tahan siksa batin yang terlanjur hancur di sudut kota Port Numbay, di Kantor Suara Papua, media "voice of voiceless". 

Pukul 5 sore hari, ku dengar ratap tangis anak negeri di Kamasan Surabaya, memaksa ku turun menyalakan lampu lilin di Putaran Perumnas 3 Waena, tanda perlawanan sipil dinyalakan. Kata "Monyet" sontak terdengar hingga ke pelosok tanah air. Ku sebar panggilan anak negeri keluar membela martabat dan harga dari sebuah nilai kemanusiaan yang dihancurkan. Jalan dan kota sepenuhnya milik rakyat tertindas. Kebenaran harus dibela, tak peduli berapa pun jumlah pengorbanan perjuangan yang dipertaruhkan. Adalah tugas mulia memanusiakan manusia dari tirani penindasan. Sepintas saja, Papua menjadi milik rakyat  Papua yang bangkit melawan setelah puluhan tahun menahan sakitnya penindasan. Gemuruh ombak perlawanan picah dimana-mana. Rakyat melawan!

Dengan kepalan tangan kiri, monyet kami jadikan simbol perlawanan, bak Apes turun melawan manusia di kota-kota, bangsa Papua relahkan nyawa jadi taruhan di jalan-jalan demi kehormatan jati diri bangsanya. Lantas, adakah sepenggal maaf? yah itupun dari rakyat tertindas indonesia yang hati nuraninya lebih besar dari kuasa politik kolonial yang rasis. Mereka lebih manusia dari Presiden dan alat kekerasan TNI Polri di West Papua. Kebenaran ditindas, dan kejahatan dibela hingga rakyat protes dipukul, ditembak, ditangkap dan dikejar. Bagi mereka, kain bendera merah putih lebih bernilai dari 8 warga sipil yang ditembak mati di Deiyai saat demo tolak rasis. Lantas bila demikian, siapa yang lebih pantas disebut monyet? 

Ah sudahlah blog, engkau pun tahu, percuma ku uraikan kebenaran disini. Kebenaran telah dipasung dengan moncong senjata. Kebenaran harganya dibunuh, dipenjara dan buron. Kami telah membayar setiap hari di jalan-jalan, di penjara, di hutan-hutan, di negeri orang. Kami masih terus berkelana mencarinya dari setiap hembusan nafas pasrah yang tersisa. Telah kami sebar benih kebenaran yang akan tumbuh berakar kuat untuk menghalau badai kejahatan kemanusiaan. Seperti bintang pagi menyambut mentari esok, kelam malam ini akan berlalu dengan semestinya, begitulah lika liku kehidupan. 

Bulan-bulan di akhir tahun 2019 itu kejam. Mereka tiada henti mengerjarku. Setiap gubuk pondok rumah ku singgahi, berpindah-pindah menghindari setiap penggrebekan dan pengejaran. Setiap lorong jalan menjadi tempat tidur. Loloskan diri dari setiap suwiping di jalan-jalan. Ah, itu biasa! itu bukan yang ku takutkan. Ku takut kalau suara jiwa-jiwa yang patah tak terdengar manusia bumi. Ku takut kalau suara kebenaran dibungkam saat internet diputuskan. Ku takut kalau penjajah merasa menang ketika gerakan perjuangan mati suri. Ku takut ketika rakyat takut pada penjajah. Ku takut kalau rakyat dicekoki virus penghianatan pada bangsanya. Ku takut bila cinta anak jalanan tak lagi mekar bersemi di sanubarinya. Ku takut bila pendirian ini takluk tunduk di bawa kaki penjajah, dan itu tidak mungkin.

Blogku, diatas tanah air niguni, ku teteskan air mata mengenang setiap luka batin anak negeri West Papua; yang tersiksa dalam sunyi tak pertepi di hutan-hutan Ndugama; yang terpisah dan berkelana mengitari bukit rawa paya; yang mati terbunuh dan terkubur diatas pusara-pusara tanpa nama; yang mengungsi melintas batas dan bernaung di bawa tenda-tenda darurat bertahun-tahun, demi sebuah perjuangan sampai menang. Mereka sebut troublemaker (pengacau keamanan), border crosser (pelintas batas), refugee (pengungsi). Adakah yang lebih indah dari nama sebuah kenyataan penderitaan dan perjuangan? dan mereka memanggilku "monyet buronan". 

Buronku sepih kini, memang! walau sejuta aksara sunyi telah menghiasi dinding maya, akan selalu terkenang saat hati mengejar dalam pasrah maut, hendak ku genggam sejuta romansa di jalan-jalan itu, ingin bercerita tentang cinta dan derita anak jalanan. Tapi benar, manalah mungkin! dunia kita berbeda. Kini di depanku hanya terpampang tiga jalan: Jalan kembali, Membelok atau Jalan Terus. Kalau harus balik kembali itu langkah mundur? kalau harus belok maka itu sebuah pelecehan, maka ku pilih berjalan terus sampai tiba. Kelak bila tiba nanti, ku hanya butuh dawaian nada sendu "Kaido" tanpa lirik yang dulu ku dengar di setiap malam sebelum tidur dari bapaku, dan nyanyian kemenangan iman terjemaham mamaku. 

Blogku, ku sudahi disini. Kelak, ingin ku tuliskan banyak hal tentang cinta dan perjuangan bila masih mungkin, sebab jalan terjal ini harus terus didaki, walau setiap bukit tersimpan cerita-cerita penderitaan, yang akan menemani hingga ke puncaknya, Papua Permai. 

Buron Sunyiku,

Koki Market
15/08/2020 



Share

0 komentar: