sayang kawan, hari kan pergi, hilang tra kembali. kau bilang hidup sekali, dan sekali untuk Papua. lalu mereka sebut kita pemburu angin, pelancong jalanan, perusak masa. Akh kawan, kita pelaku kontradiksi. Mereka tentu penikmatnya. kitalah penentu arah angin. kita bagian dari cerita sejarah bangsa.
sayang kawan, ku lihat kemarin darah kita menyatu pada merah bendera perlawanan. ini hari ku lihat lambaian tangan, sembari menikmati warni warni benderamu. lalu sontak hati ini bergetar, menusuk hati jadi luka. Oh, apa gerangan denganmu? beribu tanya kupendam, terpaksa. Engkau pun pasti menjawab itu takdir, berkat, nasib pilihan hidup, atau suatu kewajaran zaman. Akhh..
sayang kawan, ada sejuta rindu menanti pada sebuah zaman. Telah terkubur sejuta jiwa pada zaman yang kau sebut wajar. Kita hanyalah pemantik sejarah yang penuh luka. pejalan kaki yang tau arah jalan. Jangan lagi memaksa kami habis diatas puing-puing kehancuran ini. sudah begitu banyak ruko-ruko penjual peti mayat itu terbangun.
Sayang kawan, kita telah terdidik di jalan-jalan untuk berbakti di jalan-jalan itu. Sungguh tak pantas dan bukan pentasnya bagi kita beradu idealisme dan segala politik demokrasi kolonial. Itu tak wajar dan sangat kurang ajar. Kita penikmat debu di jalan jalan, berbau kecut keringat jalanan. Pada aroma kopi tua, kita telah berjanji. Jangan lagi cerita cinta anak jalanan tertulis rapuh tak bermakna kelak, sayang.
Sayang kawan, hari ini pasti pergi tak kembali. sudah kita bilang, kitalah generasi penentu, bukan penikmat. Dunia memberi seribu pilihan, tetapi kita telah memilih Papua, sekali untuk selamanya. Papua tersayang. Papua permai. Tanah air cinta mati.
Ah, sayang!
di jalan sunyi, 13 Maret 2018
0 komentar:
Posting Komentar