Perjuangan
bangsa Papua memasuki era yang lebih maju dengan munculnya kesadaran ideologisasi
perjuangan pembebasan nasional West Papua. Ada semacam transformasi gerakan
reaksioner menuju gerakan yang sadar dan ideologis. Ini adalah dinamika proses
yang tentu membuka peluang konflik ideologi diantara para pejuang (penggagas
maupun pengikut) yang sedang mencari bentuk ideologi bangsa Papua. Proses ini
semakin lebih berpeluang memunculkan konflik internal yang terbuka ketika ideologi
seakan-akan dipakai hanya sebagai tameng untuk memperebutkan kekuatan dan
kekuasaan politik faksi. Kemudian seakan-akan ini menjadi “perang ideologi”
dalam internal perjuangan bangsa Papua, yang berimplikasi pada perpecahan yang
tidak seharusnya terjadi. Lantas, bagaimana kita menyikapinya?
a.
Melihatnya Sebagai Kemajuan
Para
penggagas dan pengikutnya harus paham dan sadar bahwa membicarakan ideologi
adalah hal yang maju dalam perjuangan. Karena itu tidak perlu saling menyerang
dengan cara-cara yang tidak etis, yang justru menyulut pada konflik perpecahan
internal yang tidak semestinya terjadi. Sebab, apa pun gagasan ide tentang masa
depan bangsa Papua harus dilihat sebagai kekayaan dalam menyusun dan merumuskan
format bangsa-negara (nation-state) Papua.
Ideologi
dilahirkan melalui proses uji. Pertentangan-pertentangan ide mesti terjadi
sebagai proses pembentukan ideologi. Ia tidak boleh dipandang negatif. Karena
itu, tidak perlu membangun permusuhan antar orang Papua yang berlawanan
ideologi. Sebab tujuannya selalu untuk yang terbaik bagi bangsa Papua ke depan.
b. Belajar,
Paham, Yakin dan Laksanakan
Ideologi
adalah suatu kumpulan gagasan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan
yang bersifat sistematis yang memberikan arah dan tujuan yang hendak dicapai
dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara. Karena itu, pejuang harus
mempelajari, mengerti, menghayati, meyakini dan mengabdi pada ideologi. Agar
ini terjadi, dalam menggagas ideologi, ia mesti menghilangkan penyakit-penyakit
subjektif dan mengedepankan kepentingan negara-bangsa Papua. Ingat bahwa
keterlibatan saja tidak cukup. Jangan anda menjadi pejuang ikut-ikutan. Pejuang
yang hanya patron pada ikatan sejarah, kelompok suku dan agama tertentu. Di
lain sisi, ada pejuang yang sekedar mendasari ideologi tertentu hanya sebagai
simbol merebut kekuasaan politik. Pejuang seperti ini akan selalu bertindak
brutal, egois, dan penuh ambisi.
Agar
tidak seperti itu, maka seorang pejuang harus: 1) Belajar teori dan praktek
dari ideologi. Belajar adalah cara mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui. Pejuang harus mempelajari teori-teori yang berkaitkan dengan
ideologi dan perjungan dari sumber mana pun (entah dari literatur di dunia luar
maupun dari dalam Papua). Ingat bahwa teori adalah hasil dari praktek yang
diteliti, diuji, direfleksi dan dikonsepkan terus menerus. Atau Gagasan atau
konsep lahir dari interaksi subjek terhadap objek melalui panca indera yang terverifikasi
dengan akal rasional, itulah yang menjadi pengetahuan. Pengetahuan ini yang dibutuhkan
dalam menyusun struktur berpikir seorang pejuang.
Mempelajari
teori ideologi sangat penting karena rakyat yang hendak dimerdekakan sudah
termakan oleh teori-teori kolonial. Ingat bahwa penguasa mempertahankan
kekuasaanya tidak hanya dengan senjata dan kekerasan, tetapi dengan ideologi
yakni; nilai-nilai, moralitas, gagasan, dan filsafat. Mereka berkuasa tidak
hanya dengan polisi dan tentara saja, tetapi juga dengan pendeta-pendeta,
haji-haji, guru dan akademisi-akademisi, wartawan-wartawan, birokrat-birokrat,
politisi-politisi, dan pengusaha-pengusaha yang ditempatkan dalam kehidupan
rakyat Papua, yang mempengaruhi dengan pengetahuan-pengetahuan kolonial dan
kapitalis.
Ideologi
adalah pengetahuan tentang ide-ide. Sehinga dalam konteks mempelajari ideologi,
pejuang tidak mesti anti-teori pada ideologi-ideologi dunia. Ia harus
mempelajari secara mendalam setiap ideologi, baik sejarah, konsep dan
prakteknya. Tidak setengah-setengah. Ia harus benar-benar membaca, melihat atau
mendengar dari segala sumber.
2) Memahami dengan benar. Setelah anda belajar dari berbagai
sumber, dengan muda seseorang harus memahami atau mengerti dengan benar konsep
dan praktek dari para penggagas. Ia tidak akan pragmatis dan terkurung dalam
satu kebenaran tertentu. Pemahaman (comprehension) terhadap ideologi-ideologi
secara tuntas akan membuat pejuang memperhatikan hubungan-hubungan antara satu
konsep ideologi dengan kosep-konsep lainnya. Sebab, konsepsi pemikiran selalu
berasal dari dan berhubungan dengan konsep-konsep lain. Ia akan membandingkan,
dan mengkontruksi pemikiran yang baru dengan menilai kelemahan dan kelebihan
dari gagasan-gagasan tersebut, lalu menyimpulkan dan menggeneralisirnya.
Artinya,
tidak cukup pejuang hanya tahu sesuatu tanpa memahaminya. Itu ibarat hafal
rumus tanpa mengetahui bagaimana rumus itu dibuat dan digunakan. Ini yang biasa
disebut pemahaman istrumental, pengetahuan ikut-ikutan, yang hanya patron pada
hasil pemikiran orang lain. Pejuang
harus memiliki pemahaman relasional dan rasional, yang mampu mengartikulasikan
pengetahuan ke dalam pikirannya. Ia tahu dan hafal konsep tetapi juga mengerti
bagaimana dan mengapa konsep itu ada. Ia tidak ikut-ikutan. Ia melibatkan diri
dalam konsep itu karena masuk di akal (rasional).
Sementara
untuk mencapai pemahaman tentang benar dan salah dari suatu konsep, otak
pejuang harus memiliki pengetahuan untuk memahami apa definisi kebenaran. Sebab
kebenaran selalu relatif (tergantung seberapa besar pengetahuan kita untuk
menilainya). Pengetahuan akan menjadi alat untuk mengukur dan menilai sebuah
kebenaran; Apakah benar sesuai ajaran agama, adat-istiadat, sesuai filsafat,
sesuai ilmiah (teori), sesuai pengalaman empiris (yang dipandang), dsb.
Pejuang
bisa memiliki dasar kebenaran untuk mengukur kebenaran lain berdasarkan hal-hal
diatas, tetapi paling tidak ia harus mampu mempertimbangkan 1) bahwa ideologi
harus menjadi senjata perlawanan bagi bangsa Papua melawan segala bentuk
penindasan, 2) ideologi harus mampu menjadi landasan persatuan bangsa Papua, 3)
Ideologi harus tepat guna dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
4) ideologi Papua juga harus memiliki nilai-nilai yang membebaskan tatanan
dunia bersifat global/universal). Intinya, ideologi harus bisa mengandung
nilai-nilai operasional dalam situasi hari ini dan mendatang, bila tidak
biasanya gagasan itu akan menjadi gagasan utopis.
Proses
tersebut harus dibawa dalam diskusi-diskusi terbuka. Seorang pejuang harus
mampu mengutarakan ide-ide yang dipelajarinya terhadap orang lain yang memiliki
ide yang berbeda. Seorang pejuang harus bersedia menerima kritik dan saran dari
ideologi yang dipelajarinya sebagai proses memahami kelemahan dan kelebihan
dari pengetahuan ideologi yang dipahami.
Orang
dapat tetap mempertahankan ideologinya sekalipun tidak diterima oleh kalayak
umum, tetapi dalam membangun ideologi bangsa-negara, ia harus mampu berinteraksi
dengan kelompok beda ideologi dalam satu bangsa, agar membangun kontruksi
ideologi bangsa dan negara West Papua secara bersama-sama. Agar interaksi
terjadi, setiap pejuang harus memiliki watak yang demokratis, agar dapat
mendorong proses tersebut dalam mekanisme-mekanisme yang demokratis dan
bermartabat.
3) Meyakini. Seorang pejuang akan meyakini saat
ia merasa cukup mengetahui, memahami dan menyimpulkan bahwa dirinya telah memiliki
ideologi yang benar. Ini adalah level kesadaran (conciousness) terhadap apa yang
diketahui dan dipahami. Tidak cukup seorang berjuang karena merasa ditindas.
Tidak cukup pejuang hanya mengetahui ideologi tetapi tidak meyakininya. Apa
yang diyakini harus menjadi sikapnya. Ia patuh terhadap apa yang diyakini.
Ideologi itu akan menjadi semacam roh yang menuntun dalam perilaku perjuangan. Dengan
itu, pejuang bisa menginspirasi rakyat Papua. Apa yang diyakini menjadi
landasan pijak bagi pribadi, organisasi, rakyat Papua dan dunia.
Dalam
tahap ini, harus juga disadari bahwa setiap orang Papua memiliki keyakinan
berbeda-beda. Keyakinan seseorang tidak selalu merupakan jaminan kebenaran yang
mutlak. Sehingga tugas seorang pejuang adalah meyakinkan ideologi melalui
tahapan belajar dan memahami nilai-nilai yang menjadi keyakinan palsu, yakni
hegemoni para penindas. Ia harus bisa meyakinkan rakyat dengan ideologi yang
diyakini sebagai alternatif paling baik bagi kehidupan bangsa Papua ke depan. Keyakinan
yang kokoh akan menjadi harapan dan semangat dalam sikap dan perilaku
perjuangan.
4) Melaksanakan (Action). Ideologi yang dipahami dan
diyakini harus diartikulasikan dalam praktek perjuangan. Ideologi harus menjadi
ciri dan karakter dalam gerakan perlawanan. Tanpa itu, ia disebut ideologi
mati. Tidak cukup menulis buku tentang ideologi bila tidak dihidupkan dalam
gerakan organisasi bersama masa rakyat Papua. Sebaliknya, tidak cukup mengajak
rakyat berjuang tanpa landasan ideologi yang dipahami dan diyakini. Itu ibarat
sopir yang membawa penumpang tanpa arah dan tujuan. Itu ibarat orang buta
tuntun orang buta.
Secara
personal, dalam aktivitasnya, pejuang yang memiliki keyakinan ideologi akan
bersikap dan berperilaku berlandaskan nilai-nilai ideologi yang diyakini.
Tetapi bila lain keyakinan lain perbuatannya, maka itu merupakan keyakinan
palsu. Bila pengetahuan dan keyakinan tidak sejalan dengan tindakan maka ia
perlu merefleksi diri dengan belajar dan memahami kebenaran dari tindakannya
kembali. Apakah tindakan itu sesuai dengan kesadaran objektif atau subjektif?
Sebab setiap tindakan yang berkaitan dengan perjuangan memerdekakan bangsa, ia
(subjek) mesti menempatkan diri dalam objek (realitas).
0 komentar:
Posting Komentar