20/06/11

Wajah Indonesaia dalam Kisruh Otsus-MRP

Victor Yeimo

Pemerintah Indonesia dengan begitu terbuka menerapkan malpraktek pemerintahan kolonialismenya di Papua Barat. Otsus, walaupun awalnya dianggap sebagai semangat rekonsiliasi, tetapi pada akhirnya 'digagalkan' oleh sikap Jakarta yang inkonsisten, anti demokrasi, anti HAM, ekploitatif dan represif. Pemerintah Indoensia juga sangat terbuka dalam memainkan politik Devide it empera (Politik pecah belah) melalui pembentukan Provinsi Irja Barat (sekarang Papua Barat), dan kini pembentukan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) di Provinsi Papua Barat. Ini menjadi kewajaran dan bukti bahwa kebijakan Otsus tidak sedang didorong dengan semangat rekonsiliasi, tetapi sangat kental dengan semangat kolonisasi wilayah Papua.

Dalam semangat kolonisasi itu, Resim susilo Bambang Yudhoyono yang adalah mantan Menkopolkam terus menempatkan politik sebagai dimensi utama dalam persoalan Papua. Sby tahu persoalan Papua. Sby tahu orang Papua terus mempermasalahkan "integrasi 63" dan "PEPERA 69" melalui demonstrasi tuntut referendum; Sby tahu isu Papua terus bergema diluar negeri dan pihaknya terus dikecam oleh pendukung kemerdekaan Papua dan NGO; Sby tahu Otsus telah gagal di Papua. Maka ia sangat hati-hati dalam menerapkan berbagai kebijakannya di Papua. Ia bermain cantik dengan trik politiknya. Ia bediam diri dan membiarkan masalah Papua ditangani oleh orang-orang kepercayaannya di DPR RI, di Militer, Di Polisi, di Mendagri, di Menlu, di Gubernur Papua dan Papua Barat dan di BIN.

Gerilya politik dalam kasus Pelantikan MRP dan MRPB tampak lebih jelas bagaimana Jakarta dan elit-elit Papua menghegemoni kesadaran rakyat Papua yang menginginkan penyelesaian masalah Papua secara tuntas dan final. Bagaimana tidak, gelombang protes "tolak Otsus" dan "Tuntut Referendum" terus diupayakan dengan trik pengalihan issu. Jakarta dan elit-elit kepentingan di Papua terus berupaya agar faktor "integrasi 63" dan "Pepera 69" tidak menjadi masalah dan isu yang central di Papua, karenanya mereka ingin agar orang Papua mengikuti arus penciptaan kondisi yang dilakukan Jakarta.

Bagi Jakarta, menciptakan konflik vertikal dan horisontal di Papua adalah hal yang gampang, karena mereka tahu bahwa elit-elit Papua yang bermental budak itu memiliki nafsu kedudukan dan uang, sehingga bagaimanapun mereka biarkan elit-elit Papua -bersama kekuatan tersembunyi dari jakarta- untuk seenaknya melakukan malpraktek penyelenggaraan pemerintahaan kolonilnya di Papua (Misalnya, Korupsi dan Otsus besar-besaran dibiarkan). Jangan heran bahwa elit-elit Papua juga sangat pintar mempermainkan Jakarta. Pemeritah Indonesia paling cepat mendengar elit-elit Papua yang meminta pemekaran kabupaten dan provinsi dengan alasan meredam isu "disintegrasi" atau dengan alasan "demi menghancurkan separatisme".

Ini merupakan bentuk lain dari wajah kolonialisme Indonesia di Papua Barat yang akan memperuncing kesadaran rakyat untuk mengerti siasat penjajahan Indonesia. Bagai api dalam sekam, Indonesai terus meniup barahnya dan sejarah akan membuktikan bahwa dengan kesadaran praktek penjajahan yang nyata itu, rakyat Papua terus bangkit mempertajam garda perlawanannya, merebut cita-cita pembebasanya.**
Share

0 komentar: