Victor F. Yeimo
"Damai" itu tempat yang subur bagi neokolonialisme Indonesia. Penjajahan dan penghisapan dengan gaya baru bisa tumbuh kalau ada jaminan "damai" dalam wilayah yang dieksploitasi dan dijajah. Presiden Sby 16 Mei lalu mengintruksikan TNI/Polri agar mengamankan Papua demi kenyamanan investasi asing (Jurnal Nasional Hal 10). Tidak tangung-tanggung, BKPM Papua katakan Investasi asing di Papua naik 26% dalam beberapa bulan terakhir (baca: Kbr68H). Hal ini juga didukung kompanye "Kasih dan Damai itu Indah" oleh TNI. Program UP4B adalah hasil dari proposal "dialog Papua-Jakarta" (baca wawancara Muridan bahwa LIPI dan JDP bekerja sama untuk UP4B dengan Pemerintah -walaupun JDP belakang menyangkal).
Indonesai setelah penandatangan AFTCA berkomitmen menjadikan Papua sebagai pintu pasar bebas agar kepentingan ekonomi politik Indonesia di kawasan pasifik dikuasai (menteri perdagangan baru-baru ini meresmikan pasar Skow untuk tujuan membuka jalur bebas bersama PNG). Untuk tujuan itu semua, Indonesia berkentingan agar Pos-pos TPN-OPM di sepanjang perbatasan dan dimanapun bisa dibasmi dengan alasan keamanan investasi dan perdagangan bebas. Selanjutnya, stigma teroris dan separatis menjadi surat jalan bagi intervensi militer, dan TNI berkepentingan membuka wilayah teritorinya di setiap basis investasi yang bercokol di Papua.
Papua harus terlihat damai agar investasi dapat bercokol di Papua. Untuk itu, Indonesia juga berharap resistansi gerakan di Papua harus menempuh jalur damai dan setiap efek-efek gerakan sedapat mungkin diminimalisir melalui jargon-jargon, pidato-pidato, ceramah-ceramah, seminar-seminar dan khotbah-khotbah damai. Dan sekalipun gerakan aksi damai dibuat, Jakarta katakan gerakan Papua ikut mewarnai citra demokrasi di Indonesia, dan dunia bangga dengan Indonesia.
Kita semua tahu Indonesai tidak punya niat bangun manusia Papua, karena dia berniat menguasai tanah ini dan memusnakan orang Papua melalui metode penjajahan baru yang sistematis dalam kondisi dan situasi "Damai" yang sangat mendukung. Indonesia setelah perang dunia ke II, juga setelah hengkang dari Belanda ikut menerapkan motode menjajah yang baru ikut gaya imperialisme. Kasus Libya, Irak, Iran, Mesir bisa dibandingkan dengan konflik berkepanjangan Palestian-Israel. Dari sana kita dapat belajar mengenal wujud penjajahan yang tersebunyi lama dalam jargon demokrasi, HAM dan Perdamaian kini memunculkan wajahnya sebagai predator ulung dalam sejarah penindasan manusia.
Di Papua, Damai harus menjadi "hukum tertinggi" agar gerakan perlawanan oleh kelas tertindas dapat dibendung dan dihancurkan demi sebuah 'hukum' Damai. Papua dalam realita yang sangat darurat oleh penindasan gaya baru tadi harus sedapat mungkin dikoverisasi dengan sampul indah bernama: Damai, agar investasi dan dunia melihat Papua Aman, Damai dan sejahtera dalam Indonesia.
Agar Damai menjadi "hukum tertinggi" di Papua, maka agenda-agenda perdamaian harus didukung oleh rakyat Papua, oleh Jakarta, oleh pejuang Papua dan para pemimpin agama di Papua. Jakarta berharap agar pejuang Papua yang menuntut kemerdekaan Papua membicarakan agenda perdamaian dalam satu meja dengan Indonesaia, agar dunia melihat bahwa konflik Papua menuju jalan rekonsiliasi dengan Indonesia.
Jakarta tahu, bahwa hal yang sangat mengganjal dirinya adalah kasus sejarah integrasi 63 dan pepera 69, sehingga Jakarta ingin agar perselisihan sejarah itu hilang dibayar melalui dialog yang menyepakati program-program rekonsiliasi baru. Kasus konflik politik Aceh dibayar dengan Otsus penuh dan merubah wajah perjuangan dan menghasilkan kemunduran drastis. Indonesia tidak konsisten dengan penjanjian Helsinki karena bagi Indonesia perundingan Aceh-Jakarta itu final. Hal sama yang pernah dia lakukan dalami Rome Agreement dan New York Agreement dalam kasus Papua.
Kekeliruan Gerakan di Papua
Dalam berbagai diskusi saya katakan bahwa semestinya orang-orang Papua yang menginginkan pembebasan -juga perdamaian- di Papua tidak salah dan tidak juga bertindak spekulatif dalam mensiasati thema-thema perdamaian di Papua.
Kita harus jujur bahwa kita mengalami evolusi peradaban yang secara tidak langsung mengubah wajah dan karakter dari eksistensi orang Papua, dimana nilai-nilai unversal beranak pinak dan menjadikan kita bangsa Papua yang membudak pada peradaban asing. Kita tidak sanggup mengenal jati diri dan karakter kita sebagai manusia Papua yang harus berjuang demi sebuah eksistensi komunal.
Peradaban di dunia ini dibentuk dengan perjuangan dan pengorbanan. Atau sederhananya, musuh pun telah berkorban dalam merebut wilayah Papua. Dan untuk terus menguasai dan menghabisi orang Papua, musuh pun sedang berjuang dan berkorban. Lantas, apakah kita harus biarkan rakyat Papua menerima realita penindasan dengan berpangku tangan, menonton sembari menghibur diri dengan pujian penyembahan "Kasih dan Damai"?
Maka sangat keliru bila pemimpin-pemimpin di Papua membicarakan perdamaian tanpa memacu rakyat dalam irama perlawanan. Mengajak rakyat berbicara perdamaian itu ibarat pemimpin yang membagi kuas kepada rakyat untuk mengecet rumah tua yang kumuh dan krepos agar dilihat indah dari luar. Atau tindakan ini bisa disebut membuka salon kecantikan bagi Jakarta agar orang Papua me-make up wajah Indonesia.
Tapi, bisakah pemimpin Papua ajak rakyat bergerak dan berjalan maju? tidak dengan pertemuan-pertemuan formal sebagai ajang mendulang legitimasi rakyat untuk mendukung agenda-agenda spekulatif. Bisakah pemimpin Papua memberikan kepastian perjuangan melalui tahapan-tahapan real? bukan dengan agenda penuh "kira-kira", "mungkin-mungkin" atau coba-coba memancing ikan dan biarkan rakyat menunggu ikan itu terpancing atau tidak?
Akhirnya rakyat Papua dan pejuang Papua yang menginginkan pembebasan diatas negeri ini harus sadar bahwa perdamaian itu adalah hasil dari perjuangan. Sedangkan perjuangan itu butuh pengorbanan.
0 komentar:
Posting Komentar