Victor F. Yeimo
Alasan tuntutan referendum oleh rakyat Papua di teritori West Papua mesti dijelaskan dengan landasan hukum internasional dan hukum domestik Indonesia. Ini penting agar penguasa Indonesia dan rakyatnya memahami duduk persoalan, menghentikan konflik, dan mengambil solusi damai.
Sampai saat ini status hukum internasional West Papua dalam Indonesia masih lemah bahkan ilegal. Ilegalitas itu sudah secara terbuka dipaparkan oleh berbagai ahli hukum internasional. Keabsahan itu juga dapat dipatahkan juga dengan konstitusi Indonesia.
Kelemahan Klaim Dalam Hukum Domestik Indonesia
Klaim keabsahan Indonesia atas teritori West Papua melalui Pepera 1969, dalam hukum domestik Indonesia dituangkan dengan penuh rekayasa (sekedar pembenaran politik) dan sangat inkonstitusional sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
Pertama, argumentasi hukum domestik yang dipakai untuk legitimasi Indonesia di West Papua dimulai dari klaim yang keliru bahwa sejak proklamasi 17 Agustus 1945 Papua bagian dari NKRI berdasarkan asas Uti Possidities Judis.
Ini tidak benar dan sesat. Sebab, sesuai Sidang Parlemen Belanda tahun 1950, West Papua berada di bawah administrasi Netherland Nieuw Guinea, dan tidak dalam administrasi Hindia Belanda yang diakui kemerdekaannya dari Sabang sampai Amboina berdasarkan Konferensi Mejah Bundar (KMB) di Denhaag, Belanda, tahun 1948.
Jadi asas ini tidak berlaku bagi West Papua. Artinya, klaim semua wilayah jajahan sebagai bagian dari NKRI adalah keliru dan justru merupakan suatu bentuk okupasi dan aneksasi. Itu sama saja dengan misalnya mengklaim semua bekas jajahan Belanda yang lain seperti Suriname, Brasil, atau Afrika selatan untuk ada dalam NKRI.
Belanda jajah West Papua dengan status administrasi jajahannya sendiri, lalu menyiapkan proses dekolonisasinya sendiri. Karena memang tidak ada korelasi sejarah perjuangan bangsa Papua dalam semangat kebangsaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Kedua, konsiderans Undang-Undang No 12 tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat memuat rumusan proses pelaksanaan Pepera 1969 yang sangat bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Misalnya, kalau dalam UU No.12 tahun 1969 direkayasa bahwa Pepera 1969 dimenangkan dengan aklamasih (cara musyawarah) oleh 1,025 wakil adat (Dewan Musyawarah Pepera), maka itu tidak sejalan dengan konstitusional yang dianut UUD tahun 1945 dan menyebabkan ketimpangan terhadap ratifikasi dari New York Agreement 1962 antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda.
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan nuraninya, namun rakyat Papua tidak dilibatkan dari proses persiapan hingga pelaksanaan Pepera.
Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Proses sebelum ketika dan setelah pelaksanaan Pepera bertentangan dengan Pasal Ini.
Pepera dilaksanakan tidak pernah ada konsultasi dan keterlibatan wakil-wakil resmi bangsa Papua, dan proses pembicaraan dan penetapan Penjajian New York. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Indonesia tidak menggunakan sistem one man one vote, seperti yang sudah dijanjikan, namun menciptakan badan Musyawarah Pepera yang berjumlah 1,025. Padahal dua tahun setelah Pepera, Pemilu tahun 1971 dilaksanakan di tanah Papua dengan sistem one man one vote, yang membuktikan bahwa sebetulnya sistem tersebut sangat mungkin dilakukan dan dikehendaki.
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengatur setiap orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani. Tetapi sebelum Pepera 1969, 1,025 anggota Dewan Musyawarah Pepera dipilih secara rahasia, dikarantikan, didoktrin dan diintimidasi oleh militer Indonesia untuk ikut Republik Indonesia.
Sehingga pernyataan “…Keputusan DMP adalah sah dan final, tidak dapat diganggu gugat lagi oleh pihak-pihak manapun” adalah bertentangan dengan pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat.
Artinya materi tentang hasil Pepera yang dijadikan dasar hukum pembentukan wilayah administrasi Indonesia di West Papua melalui UU No. 12 tahun 1969 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnnya.
Referendum Sah Sesuai Hukum Internasional
Pelaksanaan Pepera 1969 itu melanggar hukum internasional tetapi Indonesia terus klaim dan pertahankan West Papua dengan hukum kedaulatan. Saling klaim ini harus diselesaikan dengan hukum internasional, dan bukan hukum domestik. Karena itu, referendum adalah solusi untuk menetapkan status internasional dari West Papua.
Hanya 0,2% Populasi yang dipaksa bergabung melalui rekayasa Pepera 1969, karena itu sampai saat ini 99,8% rakyat pribumi Papua menuntut referendum yang damai untuk menentukan status hukum internasionalnya.
Referendum harus dilakukan karena West Papua memiliki hak hukum substantif atas penentuan nasib sendiri sejak 1969, dan karena Pepera terbukti melanggar persyaratan prosedural yang ditetapkan hukum internasional.
Resolusi 2504(XVII) tidak menyebutkan penentuan nasib sendiri West Papua, atau West Papua tak lagi menjadi teritori tak berpemerintahan sendiri. Tak ada resolusi apapun lagi dari Majelis Umum PBB (atau Dewan Keamanan PBB) yang menyetujui PEPERA atau menegaskan bahwa West Papua telah menjalankan dengan bebas hak penentuan nasibnya sendiri.
Tanpa adanya resolusi yang jelas menunjukkan persetujuan PBB atas PEPERA, maka sulit untuk menyimpulkan bahwa PBB telah memberi persetujuan atas integrasi West Papua ke Indonesia. Bahkan, lebih jauh lagi, keberadaan Indonesia di West Papua masih diragukan keabsahannya.
Buktinya:
- Hanya 0,2% populasi West Papua ambil bagian dalam PEPERA dan mereka tidak punya hak pilih;
- West Papua berada dalam pendudukan militer; Sejak awal di tahun 1963 ketika UNTEA memindahkan administrasi ke Indonesia, sudah sebanyak 15.000 pasukan keamanan Indonesia di West Papua;
- Komite Dekolonisasi PBB bahkan menyatakan Netherland New Guinea bergabung dengan Indonesia di tahun 1963 sebagai Irian Jaya, yang artinya bahwa Indonesia bahkan sudah menganeksasi West Papua SEBELUM PEPERA.
Status West Papua oleh karena itu merupakan koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak untuk penentuan nasib sendiri. Sampai West Papua dapat melaksanakan haknya untuk menentukan nasib sendiri maka ia masih menjadi sebuah koloni dan kehadiran Indonesia di West Papua ilegal.
Majelis Umum PBB telah mendeklarasikan: keberlanjutan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasi adalah kejahatan yang melanggar Piagam PBB dan Deklarasi Jaminan Kemerdekaan terhadap Negeri-negeri dan Rakyat Terjajah serta prinsip-prinsip hukum internasional. (Resolusi 2621 (XXV)
Referendum bagi West Papua dalam hukum Internasional dengan demikian merupakan sebuah kaharusan. Mengapa? Melinda Jankie, ahli hukum Internasional dalam jurnal hukum internasionalnya pada tahun 2010 menyatakan kesimpulan sebagai berikut:
- Di tahun 1949 setelah pembentukan Negara Republik Indonesia, West Papua adalah koloni tak berpemerintahan sendiri dan diakui demikian oleh PBB dan Belanda, yang pada waktu itu menjadi penguasa administratif kolonialnya.
- Di tahun 1963 ketika Indonesia mengambil alih tanggung jawab administratif atas West Papua, teritori itu tetap berstatus koloni tak berpemerintahan sendiri yang berhak atas penentuan nasib sendiri dibawah hukum internasional. Hak itu diakui oleh Indonesia dalam New York Agreement yang menguatkan fakta bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan hukum atas West Papua.
- Keberadaan Indonesia di West Papua adalah administrasi kolonial yang bisa bersifat permanen hanya jika rakyat West Papua memilih integrasi melalui penentuan nasib sendiri dengan prosedur yang disyaratkan oleh hukum internasional.
- Satu-satunya penentuan nasib sendiri yang dilakukan adalah PEPERA yang TIDAK SAH pada tahun 1969.
- Karena pengambilalihan tersebut tidak sah, maka West Papua bukanlah bagian sah dari teritori Indonesia namun teritori tak berpemerintahan sendiri dibawah pendudukan.
- Kemerdekaan West Papua akan merupakan pengembalian kedaulatan rakyat Papua dan bukanlah pelanggaran integritas teritorial Indonesia.
- Penggunaan kekuatan tentara bersenjata Indonesia di West Papua untuk membuat pasif rakyat West Papua merupakan wujud penyangkalan hak penentuan nasib sendiri dan kejahatan terhadap hukum internasional.
- Negara-negara di dunia oleh karena itu perlu mengakui bahwa West Papua adalah koloni Indonesia dengan status yang berbeda dan terpisah, serta bertindak memastikan kejahatan hak azasi manusia di West Papua segera diakhiri.
- Oleh karena itu komunitas internasional negara-negara juga berkewajiban untuk memastikan bahwa rakyat Papua diberikan hak untuk secara bebas menentukan nasibnya sendiri.
Oleh karena itu, ruang referendum yang dituntut oleh rakyat West Papua didasari oleh kebenaran. Hukum Domestik Indonesia dan Internasional memberi alasan kuat bahwa hanya dengan referendum yang damai, demokratis dan final sesuai standar dan prinsip-prinsip universal, konflik politik West Papua akan berakhir. Biarkan rakyat West Papua memilih dan menentukan nasib politiknya sendiri.
)* Penulis adalah juru bicara Internasional KNPB Pusat.
Share
0 komentar:
Posting Komentar