(Editorial kabarpapua.com)
PAPUA BARAT masih menjadi wilayah konflik politik sejak wilayah ini diintegrasi kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh dan atas kepentingan ekonomi politik Jakarta-AS. Konflik itu masih membara ulah Jakarta yang masih belum mempunyai kemauan politik dalam penyelesaian status quo ini. Gejolak politik di Papua Barat tentu bukan hal yang baru. Konflik tersebut tidak hanya memakan waktu puluhan tahun, tapi juga memakan korban ratusan ribu jiwa rakyat Papua Barat.
Akar persoalannya adalah Rakyat Papua minta pengakuan kemerdekaannya, sedang Jakarta tidak ingin pemisahan wilayah Papua Barat. Indonesia bahkan mereduksi akar persoalan ini semata persoalan sosial dan ekonomi masyarakat Papua Barat. Lantas, Jakarta terus memasung segala kebijakan sebagai pendekatan resolusi. Nyatanya, rentetan kebijakan itu tidak satupun berarti bagi rakyat Papua Barat. Bahkan, ikut menyuburkan konflik politik tadi. Dan lebih dari itu ikut membangun kesadaran politik rakyat Papua Barat akan penentuan nasip sendiri, lepas dari praktek-praktek penjajahan keji yang dilakukan oleh Indonesia di Papua Barat.
Kasus pengibaran Bintang Kejora (09/08) di Wamena dan rentetan pengibaran kasus sebelumnya yang terjadi secara sporadis di Papua Barat masih sebatas percikan bara dari akar persoalan yang ada. Lantas, cap "Separatis OPM", dan sebaliknya "NKRI Harga Mati" masih menjadi slogan mulia bagi Pemerintah Pusat, Ormas Agama Islam yang reaksioner, terlebih TNI/POLRI di Papua Barat yang seakan-akan memberikan pembenaran terhadap perlakuan sewenang-wenang mereka, seperti menangkap, menculik, menembak/membunuh rakyat sipil Papua Barat.
Kejahatan kemanusiaan pun dianggap mulia bagi negara yang ber-pancasila dan ber-UUD ini. Bagaimana tidak, akhir-akhir ini kita lihat dan dengar tidak ada pemberlakukan hukum yang adil atas banyak kasus kejahatan TNI/POLRI di Papua Barat. Dua bulan lalu, 10 anggota Kopasus Lantamal X Hamadi Jayapura memperkosa warga setempat, namun tidak ada keadilan bagi korban. Sampai pada penembakan di Wamena kemarin, Wapres Yusuf Kalla, Senin (11/8/2008) malah menuding perlakukan aparat Polri dan mengkriminalkan warga sipil yang melakukan aktivitas perayaan damai pada hari pribumi sedunia. Kelakuan pemerintah dan aparat yang anti hukum dan HAM ini juga ikut memperburuk wajah Indonesia di mata dunia.
Hal ini jugalah yang memicu Solidaritas Internasional dalam masalah Papua Barat. Solidaritas Internasional di Papua Barat, mulai dari komitmen pemerintah Vanuatu tentang dukungan kemerdekaan bangsa Papua Barat; Laporan Khusus untuk Pembela HAM Hina Jilani, serta Pelapor Khusus Penyiksaan Manfred Nowak yang mempermalukan Indonesia di pertemuan Dewan HAM PBB; Kunjungan Kongresman AS, Eny Faleomavaega beserta surat-suranya yang dialamatkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; serta terakhir surat 40 kongres AS kepada Presiden SBY yang meminta pembebasan tanpa syarat Tahanan politik Filep Karma dan Yusak Pakage adalah beberapa rentetan bukti bahwa persoalan Papua Barat tidak dapat dianggap sebagai persoalan nasional Indonesia. Pertama, Presure internasional dalam masalah Papua Barat ini, paling tidak ada kesadaran Pemerintah Indonesia untuk bercermin kembali wajah aparat negara dalam memperlakukan bangsa Papua Barat selama ini, tanpa harus memberikan reaksi balasan kepada 40 kongres AS dalam masalah nasional Indonesia.
Kedua, Perspektif Indonesia terhadap aksi Solidaritas LSM, Support Group, Komisi PBB serta Lembaga negara seperti 40 surat kongres AS hingga pengibaran bendera Bintang Kejora, PBB dan SOS di Wamena yang merenggut 1 korban jiwa ini musti mengacu pada nilai-nilai Universal yang ada. Sebab, Indonesia sebagai bagian dari komunitas Internasional, dan sebagai Dewan HAM PBB telah meratifikasi sebagian besar konvesi HAM PBB. Desakan internasional itu musti dilihat dalam kerangka Universal, misalnya mengacu pada Deklarasi Universal HAM PBB tentang hak-hak sipil politik, hak seseorang untuk bebas berorganisasi dan berekspresi. Desakan-desakan itu sebenarnya tidak jauh dari semangat penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati dan diatur secara universal. Apalagi aksi di Wamena pada hari Pribumi Internasional adalah bagian dari semangat masyarakat pribumi terhadap Deklarasi Hak-Hak Penduduk Asli pada 13 Sepetember 2007 lalu, dimana Indonesia juga merupakan salah satu dari 143 negara yang ikut menyetujui Deklarasi itu.
Ketiga, Aksi rakyat dalam menuntut hak politik di Papua Barat tentu bias internasional. Masalah konflik politik Papua Barat sejak pendudukan Indonesia diwilayah ini, tentu erat kaitannya dengan Amerika Serikat, Belanda, bahkan PBB. Makanya, pemeritah RI tidak harus memandang persoalan Papua secara parsial, terlebih untuk menjadikan wilayah Papua Barat sebagai wilayah protektoral.
Menyoal Papua berarti ada catatan sejarah buram tentang status politik wilayah ini dan praktek-praktek penjajahan negara yang menuntut rekonsiliasi konflik yang proporsional. Pernyataan-pernyataan penolakan intervensi AS pasca surat 40 kongres AS serta kriminalisasi terhadap rakyat pribumi atas kasus pelanggaran HAM TNI/POLRI di Wamena ini ibarat meniup barah dalam sekam, dan oleh karenanya represi militer terhadap hak demokratik rakyat pribumi juga semestinya dihentikan.***