Detak-detuk sepatu laras penjajah dan ting teng trali besi tidak lagi terdengar di sepanjang lorong ini. Samar-samar gemuruh motor jarang terdengar, dan ku tahu pertanda malam sudah larut.
Hening malam menghampiriku. Didalam tembok berkubus 3x3 daku masih terbaring, menengadah ke atap jeruji membayangkan indah langit dan dalam khayal aku sedang menghitung bintang berkedip, menghitung mimpi-mimpi yang datang menghampiri dan pergi menjauhi. Tenang namun gelisah saat memandang ke samping tembok dan jeruji besi terbayang disana, dikaki gunung Apo dan cyclop tersusun bangunan nan mewah dihiasi gemerlap lampu malam. Para penjarah dan penyedot rakyat menghitung hasil dagangan sehari, bergurau ria diatas tetesan peluh keringat mama-mama Papua yang menjual sayur sehari tadi. Di sudut jalan para vampir penjajah menunggu mangsa rakyat. Di timur terpampang samudera pasifik, dan pelabuhan itu setiap saat menjadi pintu bagi kapal putih, silih berganti memuntahkan ribuan para penyedot dan penjajah. Ku pejamkan mata dan ku pendam semua, mengitari sang waktu dalam angan dan khayalan bisu, sebab langit jeruji dan tembok penjajah masihlah nyata.
Rutan Polda Papua, 12 Feb '10 | 01:15
Share
12/02/10
Terusik Dibalik Trali Besi Malam
Foto Aksi Derita Jalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar