Kalau sejarah kolonisasi West Papua didasari motif ekonomi politik, maka teori ekonomi politik Karl Marx perlu dalam gerakan Papua Merdeka. Selama kapitalisme masih menjadi penyokong dan pendukung utama kolonialisme Indonesia, marxisme masih relevan sebagai senjata perlawanan rakyat West Papua. Selama pendudukan kolonial Indonesia di Papua dipimpin oleh pemerintahan-pemeritahan (yang pro) kapitalis kita tetap membutuhkan filsafat marxist. Tidak hanya faktor eksternal, selama ada penindasan dalam internal orang Papua, Marxisme dibutuhkan. Begitulah Marxisme, dikatakan ilmiah karena selalu didasarkan pada realitas objektif.
Yang disebut kelas tertindas di West Papua adalah orang Papua yang telah menjadi objek ekonomi politik kolonial dan kapitalisme global. Ada relasi produksi antara kolonial dan kapitalis yang menyebabkan West Papua menjadi ladang pembantaian dan eksploitasi. Lalu kekuatan suprastruktur (media, hukum, dan aparatnya) memproduksi (mempropagandakan) ide-ide prakmatis, utopis dan hegemonik.
Orang Papua tahu sejarah dan realitas penindasan di bawa penguasa Indonesia. Tetapi, kolonial kapitalis yang militeristik dan ekspansionis telah memaksa mereka bekerja dalam struktur pemerintahan kolonial, kapitalis dan militer. Pada posisi ini rakyat Papua bisa dikategorikan sebagai proletar yang tidak memiliki modal dan alat-alat produksi dalam masyarkat kolonial dan kapitalis (mereka teralienasi dari aktivitas produksi tradisional), sehingga cara satu-satunya adalah kerja di bawa penguasa yang menjajah dan mengekskploitasi mereka agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sekali lagi, orang Papua yang hidup dibawa kolonial dan kapitalis tergolong dalam kelas-kelas sosial, yang secara tidak langsung, dikontruksi oleh hegemoni kolonial dan kapitalis. Dalam pandangan kelas penguasa, dengan makin banyak orang Papua bekerja dalam dan untuk sistem, struktur dan program kolonial-kapitalis, mereka mendapat legitimiasi dan dukungan politik bagi kejayaan kolonial dan kapitalis. Sebaliknya, orang Papua dalam ketidakberdayaannya bekerja untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa semangat membangun kejayaan politik kolonial dan kapitalis di West Papua.
Tidak ada kesadaran perlawanan disini sebab ada idelogi dan kesadaran palsu yang diciptakan, dijaga dan dikontrol penguasa ekonomi politik. Para Maxian seperti Antonio Gramsky menyempurnakan dengan teori hegemoni.
Ketika uang menjadi alat transaksi barang dan jasa, ideologi kapitalis bekerja membentuk kesadaran palsu. Relasi sosial dibentuk oleh nilai uang. Manusia dilihat sebagai komodiatas ekonomi. Itulah yang terbangun di Papua. Orang rela diperbudak kolonial dan kapitalis karena uang. Orang Papua suksesi agenda-agenda kolonial bukan demi NKRI, tetapi karena uang. Bahkan orang Papua jual tanah, jual harga diri, saling membunuh dan menjual karena uang. Uang seakan menjadi tuhan penentu nasip orang Papua.
Mengapa itu terjadi? Karl Marx benar, yang menjadi dasar semuanya adalah motif ekonomi. Karl Marx juga bilang, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosial manusia yang menentukan kesadarannya” (London: Penguin Books, 1992). Itu yang menjadi pegangan kolonial dan kapitalis dalam membentuk struktur penindasan Papua. Mereka tahu bahwa cara satu-satunya untuk mempertahankan kedaulatan politiknya adalah memegang kendali ekonomi Papua: Menciptakan ketergatungan akut pada produksi barang dan jasa milik kolonial dan kapitalis.
Mind set kapitalis dibentuk sebagai satu-satunya indikator peningkatan ekonomi. Orang Papua lantas distigma “tidak mampu bersaing”, “tidak produktif, tidak kreatif dan inovatif dalam mengola kemandirian ekonomi. Lalu segala sektor produktif ditempati oleh masyarakat penjajah (kaum pendatang) dengan paradigma mereka lebih maju dan produktif, mereka pemacu ketertinggalan Papua, dsb. Pada dikotomis seperti ini berlaku juga fetisisme ras dan komoditas.
West Papua masih pada fase awal dari expansi kolonial dan kapitalis. Pada tahap ini, Papua masih menjadi wilayah koloni empuk, yang menyediakan sumber bahan mentah produksi dan didistribusi bagi pasar kolonial dan kapitalis. Sebagai wilayah protekrotat kolonial, prioritas pembangunan West Papua seperti infrastruktur, komando torial militer -dengan kekuatan suprastruktur- secara masif terus dilakukan demi memberi jaminan bagi aktivitas ekspoloitasi kapitalis.
Bagaimana Melawan?
Marxisme selain sebagai metode ilmiah tetapi juga praksis -kombinasi teori dan praktek. “Para filsuf hanya menginterpretasi dunia, dengan berbagai cara; yang terpenting adalah bagaimana mengubahnya (Tesis tentang Feuerbach, tesis XI). Ia tidak hanya selesai dalam membantu kita menganalisis struktur penindasan di West Papua, tetapi menyarankan praktek revolusi. Pemahaman realitas (teori) harus diartikulasikan dalam perlawanan untuk merubah realitas. Kelas tertindaslah yang harus bangkit melawan (Marx merujuk kelas proletar dan borjuis di Eropa pada abad ke-19 dimana ia hidup).
Harus diingat bahwa dalam prakteknya, suksesi teori Marxist dimatrialkan dan ditransformasi dalam berbagai bentuk oleh Lenin, Stalin, Mao, Tan Malaka, Alan Woods hingga berbagai varian di abad 21 kini. Teori Karl Marx masih menjadi panduan umum, walaupun akan selalu dimodifikasi sesuai realitas objektif seperti Antonio Gramsky, Frantz Fanon, Amircal Cabral. Membuat marxisme tidak lagi dipahami vulgar, ortodox dan atau mekanis. Marxisme adalah lawan dari dogma. Marxisme setepat-tepatnya adalah metode untuk memahami sepenuhnya proses-proses perubahan yang terjadi di sekitar kita.
Dalam kasus West Papua, harus ada kesadaran revolusioner dalam masa rakyat West Papua. Tugas seperti inilah yang menurut Lenin harus digerakan oleh partai revolusioner. Selama belum ada intervensi kader revolusioner yang memahami cita-cita sosialisme, maka tidak akan pernah ada perubahan dari kuantitas menuju kualitas. Artinya, revolusi sosialis akan tercapai bila kader revolusioner memimpin dan masa rakyat West Papua yang terjajah terlebih dahulu merebut revolusi demokratik melalui perjuangan kemerdekaan.
Masa rakyat West Papua yang mengalami penindasan struktural harus diorganisir dalam organisasi gerakan revolusioner. Harus dibangun struktur basis masa rakyat West Papua yang revolusioner, lalu membangun budaya perlawanan dengan metode-metode praktis, militan, progresif dan revolusioner. Adalah cara melawan budaya bisu, budaya inlander, pragmatis, konsumtif dan segala kedasaran palsu yang dibangun kolonial dan kapitalis.
Kader-kader revolusioner harus tunduk pada program (strategi taktik), dan dengan setia melaksanakan agitasi dan propaganda dalam melawan kelompok kontrak revolusi yang masuk menguasai ruang-ruang publik. Agitasi dan propaganda harus diarahkan pada tujuan ideologis dari sosialisme, dengan selalu membeberkan kebobrokan sistem dan praktek kolonial-kapitalis, yang telah menyebabkan krisis, stagnasi ekonomi, keterasingan, kesadaran palsu, dan fetisisme komoditas sebagaimana yang diramalkan Karl Marx benar.
Lantas kader-kader sebagai tulang punggung revolusi West Papua itu sudah harus dipersenjatai dengan teori/filsafat sosialisme. Itu berguna agar praksis tidak membawa gerakan perjuangan dalam sentimen primordialisme kesukuan dan keagamaan yang konservatif bahkan reaksioner.
Kolonialisme adalah anak kandung dari kapitalisme. Dan, tahapan tertinggi dari kapitalisme adalah imperialisme yang telah menyebabkan status hukum dan politik West Papua digantung. Adalah mustahil melawan kolonialisme Indonesia tanpa perlawanan pada kapitalisme yang menyokong kolonialisme Indonesia di West Papua.
Victor F. Yeimo
Cbr, 05 Juni 2018
0 komentar:
Posting Komentar