Jalanku perih. Melewati lembah yang penuh onak duri. Lemah dan letih disini. Sebulan terbaring bisu disini. Kuterteduh di kamar isolasi ini. Menghabiskan puluhan infus yang tidak pernah kubayangkan semula. Pikirku tak habis-habis. Detak jantung tidak normal, jendela jiwaku divonis tak berfungsi oleh dokter. Mesin nafas rusak. Kata dokter saya terlalu emosi dan kebanyakan pikir. Kutarik nafas dan menghitung nafas satu-satu dalam kepasrahan, membayangkan ajalku segera tiba. Ku pikir tiada lagi yang dapat kuperbuat. Di sepanjang lorong disana, mereka para intelijen penjajah berusaha merongrongku siang malam. Tiada lagi tempat untuk berlari. Tiada lagi yang memperdulikan.
Ku tanya negeri, ku tanya pemilik bangsa Papua, Tuhan..! masihkah mungkin Engkau memperdulikanku, bila ku harus berhenti memberontak memperjuangkan cita mulia, ku serahkan nyawaku kedalam tanganMU. Tapi, bila Engkau ingin aku kembali bagiMu negeriku, ku rindu Engkau membasuh tubuh ini dengan darah revolusi anakMu, Yesus yang pernah tercurah bagi pembebasan manusia di bumi.
Hingga pagi ini, tanggal 29, kasihMu selalu baru. Sinarmu menerangiku. Sinar itu membawa sukacita pagi. Setiap bangun pagi, ku melihat wajahMu seperti Matahari yang tak pernah terlambat terbit diatas gunung perumpas 4 disana, membawa aroma kehangatan dan memberitahukanKu bahwa Engkau masih setia memperhatikanku, menjadikanku seperti biji mataMU sendiri. Terima kasih Tuhan.
RS. Dian Harapan, 29 Ags 2010 | 08.50 WP
Share
29/08/10
Sinar KasihMu Tuhan
Foto Aksi Derita Jalanan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar