14/09/15

Makna "Pengakuan" PIF pada Kedaulatan Indonesia

"Sebagai angggota PBB kami mengakui kedaulatan Indonesia atas West Papua, tetapi PBB juga mengakui hak mereka (West Papua) untuk penentuan nasib sendiri dan pelanggaran Hak Asasi Manusia". Kata Perdana Menteri Menasseh Sogavare, saat menanggapi reaksi Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia yang menolak intervensi Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF) terhadap persoalan West Papua (sumber: http://www.pmc.aut.ac.nz).

Dalam pernyataan lain tentang HAM, menanggapi Indonesia yang tidak ingin masalah HAM dibicarakan oleh PIF, Sogavare juga menyatakan: "Jika suatu negara anggota PBB melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap rakyatnya, itu bukan lagi urusan domestik negara itu, tetapi itu menjadi isu yang harus dibicarakan oleh PBB."

Pernyataan Menasseh Sogavare, yang juga ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) merupakan jawaban bagi rakyat West Papua dan penguasa kolonial Indonesia atas 'polemik' hasil pertemuan PIF. Pernyataan seorang pemimpin Melanesia yang berhasil membawa masuk West Papua menjadi observer di MSG ini patut menjadi dasar penilaian kita dalam menyikapi hasil PIF.

Pertama, dasar pengakuan dan penghargaan PIF terhadap kedaulatan Indonesia atas Provinsi Papua (bukan bangsa Papua) merupakan bagian dari menjaga etika dan asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat negara-negara agar hidup berdampingan secara damai.

Pengakuan itu tidak berarti menghilangkan komitmen negara-negara Melanesia dan Pasifik untuk menghargai dan memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri sesuai piagam dan konvenan PBB, yang juga merupakan dasar keputusan komunike MSG di Noumea, 2013. Sesuai dengan itu pula, Menasseh Sogavareh dalam akhir tahun ini, atau awal tahun depan akan mengadakan pertemuan untuk membawa persoalan West Papua ke Komite 24 PBB (komite dekolonisasi PBB).

Kedua, keputusan pemimpin PIF untuk mengirim Tim Pencari Fakta ke West Papua bukanlah merupakan bentuk intervensi asing sebagaimana yang sedang disikapi oleh penguasa kolonila Indonesia. Tetapi, itu merupakan kewajiban bagi negara-negara anggota PBB, termasuk PIF yang merupakan organisasi regional PBB sesuai dengan konvenan PBB.

Bahwa penguasa kolonial Indonesia melalui hukum Indonesia maupun Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) tidak berhasil memproteksi dan mengadili hampir semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah West Papua yang diklaimnya sebagai bagian dari teritori Indonesia. Sudah seharusnya PBB dan organisasinya mengirim tim pencari fakta, sebab berbagai pertemuan dan hasil Komisi HAM PBB membuktikan temuan pelanggaran HAM yang terus terjadi di West Papua.

Ketiga, Para Pemimpin PIF dalam dua poin komunike itu juga menyepakati bahwa akan menyelesaian akar dari persoalan West Papua secara damai. Perdana Menteri PNG, Peter O'neill selaku Ketua PIF yang diberi tanggung jawab untuk berkonsultasi dengan Jakarta mengatakan itu merupakan langkah awal untuk melakukan banyak hal kedepan bersama Indonesia.

Peter O'neil sejak awal berhati-hati dan sangat diplomatis dalam menyikapi isu West Papua sebab, menurut saya, ia ingin Papua harus diselesaikan tanpa mengganggu stabilitas wilayah Pasifik. Ia mempertimbangkan watak brutalisme dari penguasa kolonial Indonesia yang selalu mengedepankan cara-cara militeristik dalam penyelesaian persoalan West Papua.

Keempat, Perjuangan bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sudah menjadi perjuangan rakyat Melanesia dan Pasifik. Apapun keputusan dan kepentingan para politisi Melanesia dan Pasifik hal tersebut tidak akan menghilangkan dukungan dan desakan kuat dari rakyat Melanesia dan pasifik yang terus menguat dan bergelora.

Dengan deimikian, rakyat West Papua harus menyikapinya sebagai bagian dari kemajuan perjuangan yang terus terjadi di luar negeri atas persatuan perjuangan bangsa Papua. Kita mesti menilai ini sebagai perang diplomasi pasifik yang sedang diperjuangkan melintasi kekuatan diplomasi kolonial Indonesia yang penuh dengan rekayasa dan penyuapan.

Victor Yeimo
Ketua Umum KNPB
Tim Kerja ULMWP
Share

0 komentar: